Rabu, 13 Januari 2016

KONSEPSI KETUHANAN ANIMISME DAN DINAMISME YANG ADA DI PURA SARI, DESA SELAT PANDAN BANTEN



Animisme dan Dinamisme

Sebelum membahas tentang konsepsi ketuhanan Animisme dan Dinamisme yang ada di Pura Sari, Desa Selat Pandan Banten, alangkah lebih baiknya kita membahas apa itu Animisme dan Dinamisme.  Sejak dulu masyarakat hidup dengan kesederhanaan dalam berbagai aspek, baik aspek materi maupun aspek kepercayaan. Pada dasarnya, hidup mereka tergantung pada alam yang ada disekitar mereka sebab alamlah satu-satunya sumber kehidupan. Oleh karena itu bagi mereka alam merupakan faktor yang sangat dominan.
Hal seperti itulah yang menimbulkan suatu kepercayaan dalam diri mereka bahwa alam inilah yang memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Maka dari itu muncullah berbagai keyakinan terhadap kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia seperti halnya keyakinan terhadap roh ( Animisme ) dan keyakinan terhadap benda-benda yang meliki kekuatan-kekuatan tertentu ( Dinamisme ).
Di Bali pada umumnya, dari dulu sampai sekarang sangatlah melekat akan kepercayaan mengenai kekuatan-kekuatan diluar batas kemampuan manusia ini. Dibuktikan dengan banyaknya Batu-batu ataupun pohon-pohon yang dijadikan sarana menghubungkan diri dengan tuhan, dan dipercaya memiliki kekuatan-kekuatan spiritual, ataupun kepercayaan akan adanya roh-roh leluhur.
Untuk mengetahui konsepsi ketuhanan Animisme dan Dinamisme di Pura Sari, Desa Selat Pandan Banten, akan dimulai dari pembahasan tentang Sejarah Desa Selat Pandan Banten itu sendiri, karena memiliki kaitan yang sangat erat dengan Pura Sari itu.


Sejarah Desa Selat Pandan Banten

            Menurut Prasisti Gobleg Pura Batur Nomor 10.11 disebut bahwa Desa Selat menjadi batas Utara Desa Pasraman Tamblingan. Disebut pula bahwa Ida Bhatara Dalem Tamblingan Ida Sri Maharaja Wira Tamblingan yang beristana di Tamblingan memerintahkan kedua putranya supaya pindah dari Tamblingan. Ida Bhatara Dalem Tamblingan bersabda : agar putranya yg lebih tua yang mabiseka Ida Dalem Bodjog Mambet diperintahkan menuju ke Gobleg, yang diiringi oleh 5 orang pengikutnya antara lain : I Pasek, I Bendesa,I Pengeter,, I Kubayan dan Pengengeng. Adiknya yang mabiseka Ida Dalem Dewa Rejana  diperintahkan menuju ke Selat yang diiringi oleh 4 orang pengikutnya, diantaranya : I Pasek, I Bendesa, Pengenter, dan I Kubayan.
Dalam perjalanan Ida Bhatara ke Selat tidak di ceritakan, dan akhirnya tibalah pada suatu tempat yang datar, disanalah beliau beristirahat bersama pengikutnya, dari tempat itu beliau merencanakan akan menuju tempat (bukit ) yang lebih tinggi yang berada di sebelah Utara. Setelah matang rencana beliau lalu memberikan petuah-petuan kepada semua pengikutnya, agar nantinya tempat peristirahatan ini diberi nama “Pura Kaleson” dan kemudian diberi nama Pura Laya Loyo serta terahir diberi nama “Pura Sukajati” Kemudian beliau melanjutkan perjalanan meuju ke bukit disebelah Utara, karena perjalanan menuju bukit cukup jauh lalu beliau beristirahat di suatu tempat, di tempat peristirahatan ini beliau bersabda kepada pengikutnya “ Wahai para pengikutku : Kelak tempat peristirahatanku ini supaya di beri nama “Gintungan”.
Beliau melanjutkan perjalanan menuju kearah Barat Laut menuju tempat yang datar, di tempat itu beliau ingin tinggal menetap bersama pengikutnya. Sesampainya di tempat yang datar itu, beliau meminta kepada para pengikutnya supaya di buatkan singasana. Para pengikutnya lalu membuatkan singgasana yang berupa batarateng (pondasi). Karena tempat tersebut sanggat tinggi sehingga sangat sulit untuk mendapatkan air, lalu beliau berpikir lagi untuk pindah dan mencari tempat yang mudah untuk mendapatkan air.
Sebelum beliau pindah dari tempat tersebut, beliau bersabda kepada pengikutnya” wahai semua pengikutku : Kelak tempat peristirahatanku ini diberi mana “Penataran”
Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke arah Timur dan sampailah pada tempat yang berbukit,beliau beristirahat di tempat ini di bawah pohon warsiki. Dari tempat ini beliau melepas pandanganya ke arah empat penjuru untuk melihat-lihat tempat yang sesuai menurut beliau. Pada waktu itu kebetulan beliau melihat ke arah  pucuk pohon warsiki, dilihatnyalah di pucuk pohon warsiki  tersebut ada binatang nyangnyang yang cukup besar, lalu sebelum pergi meninggalkan tempat ini beliau bersabda” wahai para pengikutku : kelak dikemudian hari tempat ini supaya diberi nama “Nyangnyangan” sekarang Bukit Gunung Sekar. Nah Disinilah Nantinya keberadaan Pura Sari itu sebagai pura yang dipergunakan untuk memuja beliau hingga sekarang.
Tidak terkisahkan perjalanan beliau sampailah pada suatu lembah (tempat yang rendah) suasannya sanggat sejuk, karena berada di pinggir pertemuan dua buah sunggai ( campuran bahasa Bali) lalu beliau beristirahat di tempat ini. Di tempat ini beliau ingin mengaturkan sujud bhakti kepada ayahnya yang beristana di Dalem Tamlingan. Beliau memanggil para pengikutnya untuk membuatkan sarana upacara. Karena di tempat itu tidak ada pohon kelapa, yang ada hanya pohon pandan , maka pada waktu itu daun pandanlah yang dipakai sebagai alas sarana upacara. Diiringi oleh pengikutnya di tempat inilah beliau melaksanakan Yoga Semadi ngaturang sujud bakti kehadapan ayahnya yang beristana di Dalem Tamblingan. Selesai beryoga I Pasek dan I Kubayan lalu bermusyawarah bahwa mereka tidak bisa melanjutkan mengikuti Ida Bhatara, mereka ingin tinggal menetap di tempat itu, karena sudah sepakat keduanya, dan keduanya menghadap Ida Bhatara  lalu mengatur sembah : Paduka yang mulia, hamba tidak bisa melanjutkan mengikuti perjalanan yang mulia, karena hamba sudah sepakat berdua untuk tinggal menetap di tempat ini,tetapi hati hamba tetap setia dan subakti kepada paduka yang mulia. Lalu Ida Bhatara bersabda : wahai pengikutku, I Pasek dan Kubayan, kalau itu memang  kehendak Pasek dan Kubayan, itu tidak apa-apa, kamu berdua tinggalah di tempat ini, dan kelak dikemudian hari tempat tinggal Pasek dan Kubayan ini berilah nama “Mailan” yang berasal dari kat “Mai” dan “lan”.
Karena I Pasek dan I Kubanyan sudah mendapatkan tempat tinggal menetap, lalu Ida Bhatara melanjutkan perjalana hanya di iringi oleh I Bendesa, dan I Pengeter. Beliau melanjutkan perjalanan ke arah Utara  dan sampailah pada suatu tempat, di mana ditempat itu terdapat batu yang cukup besar, dari atas batu itulah beliau beryoga untuk berhubungan dengan ayahndaNya yang berada di Dalem Tamblingan, lama kelamaan batu ini di sebut “Batu Bantenan”. Setelah lama beliau tinggal bersama pengikutnya di tempat ini lalu beliau naik Tahta yang diberi nama “ Dalem Purwa”. Di tempat beliau beristana dikelilingi oleh hutan pandan, sehingga para pengikutnya tidak sulit lagi untuk mencari sarana upacara. Oleh karena stana Ida Bhatara dan tempat tinggal I Pasek dan I Kubayan di batasi oleh hutan pandan maka maka tempat beliau berstana disebut “Selat Pandan Banten”.
Setelah beliau naik Tahta, beliau mengumpulkan semua pengikutnya dan bersabda : wahai semua pengikutku pada hari ini aku mengumpulkan kalian bertujuan untuk memberi tugas-tugas kepada kalian semua.
 Dengarkanlah wahai pengikutku :
  • I Pasek saya tugaskan untuk menegakkan pelaksanaan Panca Yadnya.
  • I Bendesa saya beri tugas untuk menegakan kendali dalam Pemerintahan di Desa Adat.
  • I Pengenter bertugas menjadi pemegang kendali pemerintahan pada wilayah Desa Selat Pandan Banten.
  • I Kubayan bertugas sebagai pembantu I Pasek dan I Bendesa dalam melaksanakan upacara Yadnya.

Tidak terkisahkan berapa lama perkembangan Desa Selat, sampai akhirnya terjadi pemerintahan yang lebih modern, sehingga Desa Selat Pandan Banten terpimpin oleh keperbekelan.
Namun peninggalan-peninggalan tentang keberadaan kerajaan beliau ini sangat sedikit ditemukan, hanya ada Sarkofagus yang ditemukan beberapa tahun lalu, namun Sudah dipindahkan ke gedung Krtya Buleleng. Selain itu akhir-akhir ini juga ditemukan seperangkat gong, namun terbuat dari batu. Warga mempercayai bahwa Gong ini sangat erat kaitannya dengan sejarah ini. Letak ditemukannya Gong ini sangat dekat dengan lokasi ditemukannya Sarkofagus dan keberadaan Pura Sari ini.








Animisme dan Dinamisme Pada Pura Sari

            Pura Sari Merupakan Sebuah Pura yang terdapat di Desa Selat, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, tepatnya di banjar Gunung Sekar.
            Seperti yang ada pada cerita Sejarah Desa Selat diatas, disebutkan bahwa perjalanan Ida Dalem Dewa Rejana  yang diperintahkan oleh ayahnya Ida Sri Maharaja Wira Tamblingan ke Desa Selat. Disebutkan bahwa Ida Bhatara sempat beristirahat dibawah sebuah pohon warsiki dan duduk diatas batu besar sambil melihat kearah 4 penjuru, dan dikatakan bahwa bliau juga sempat melakukan semadhi di tempat ini. Ditempat peristirahatan Beliau inilah sekarang menjadi Pura Sari dan batu besar yang menjadi tempat untuk bliau bersemadhi ini dijadikan pelinggih utama yaitu pemujaan terhadap Ida Dalem Dewa Rejana.
            Pura Sari merupakan Sebuah Pura yang keseluruhannya pelinggihnya merupakan sekumpulan batu-batu yang yang berkumpul sedemikian rupa seperti halnya pura-pura pada biasanya namun kesemua pelinggih baik pelinggih utama maupun pelinggih-pelinggih lain yang banyak terdapat disana semuanya merupakan batu-batu yang dari dulu hingga sekarang tidak pernah dan tidak diperbolehkan menurut kepercayaan masyarakat desa Selat untuk mengubah atau membuatkan pelinggih baru untuk menggatikan batu ini, bahkan tidak ada yang memindahkan posisi dari pelinggih batu yang ada di Pura Sari ini, jadi dari awal adanya Pura hingga sekarang bentuk dan posisi Pura ini tidak pernah berubah. Oleh karena itu konsep dinamisme sangat kental terhadap pura ini.
            Nah adapun unsur Animisme yang terdapat pada Pura Sari ini ialah, terdapat pemujaan pada roh leluhur yaitu raja yang diceritakan pada sejarah Desa Selat yang saya ceritakan diatas, namun sekarang beliau dikenal dengan sebutan Ida Bhatara Ratu Ngurah Gede. Adapun stana Ida Bhatara Ratu Ngurah Gede ini terdapat pada pelinggih batu utama yang berada ditengah-tengah dan disamping-sampingnya terdapat pula pelinggih-pelinggih lainnya.
            Pura Sari ini dijujungjung oleh Desa selat sebagai salah satu pura tertua yang yang ada di Desa Selat ini. Dan akhir-akhir ini Pura ini menjadi sangat terkenal bahkan sampai keluar Desa Selat sendiri, guna untuk mencari kesembuhan atau sebatas meditasi biasa saja, karena pura letak pura ini yang yang berada pada perkebunan yang tinggi sehingga membuat hawa menjadi sangat sejuk dan sangat tenang karena sangat jauh dari keramaian, mengakibatkan pura ini sangat cocok sebagai tempat meditasi.

kajian lontar kekawin sad ripu



 kajian lontar kekawin sad ripu

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam lontar sad ripu menceritakan tentang kekaguman seorang pengarang terhadap kemahakuasaan ida sang hyang widhi wasa dalam wujud siva natha raja, yang sanggup mengendalikan seluruh alam. Beliau merupakan inti sari dari pikiran dan merupakan cikal bakal dari kesadaran. Beliau mampu mengadakan baik buruk, beliau selalu dicari-cari namun tak dapat difikirkan, dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Karena rasa kagumnya pengarang tersebut selalu menyembah arca paduka batara nataraja, selalu memohon pengampunan atas segala papa dan selalu meminta anugrah dan memohon agar dijauhkan dari segala mala petaka dan dapat dijernihkan fikirannya sehingga beliau bisa mengarang kekawin yang ada pada lontar sad ripu dengan rasa utama (ketulua iklasan)
Dalam lontar tersebut lebih banyak menceritakan tentang sad ripu (enam musuh yang ada dalam diri manusia) yang bisa menyebabkan kehancuran bagi manusia itu sendiri. Maka dari itu segala nafsu keinginan, rasa dengki atau iri hati, rasa sombong, mabuk, kemarahan dan kebingungan tentang mana yang baik dan yang buruk harus dapat hindari dan ditekan keberadaanya dalam diri.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kajian Lontar Kekawin Sad Ripu
            “Sad Ripu” berasal dari dua suku kata yaitu Sad yang artinya enam, ripu artinya musuh yang ada pada diri kita masing-masing.jadi Sad Ripu merupakan enam Musuh yang ada dalam diri manusia. Pada dasarnya manusia menginginkan apa yang disebut kesucian itu. Maka pada saat sadar manusia menyadari dirinya dan ingin berbuat baik serta tidak ingin dikatakan menjadi orang yang tidak baik. Namun demmikian, oleh karena adanya musuh-musuh didalam diri manusia itu masing-masing yang selalu dan setiap saat dapat timbul, bila kesadaran seseorang menurun yang biasa menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia kearah perilaku yang tidak terpuji yang disebabkan oleh pengaruh musuh-musuh itu yang ada dalam diri manusia, maka sangatlah perlu musuh-musuh itu bukannya terdapat diluar diri kita saja, tapi musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang terdapat daam diri kita sendiri.
            Dalam Lontar Kekawin Sad Ripu menyebutkan tentang keenam musuh yang terdapat pada diri manusia tersebut yaitu pada zang III.3,4
Zang III.3
Wroeh ngwang jan tjatajaden tekap sang adikara kawi, ja ta linampoening nghoeloen / dening harsa roemengoeaken goerit I sang kawi nipoena/ pinandit̬ng lang̦/ j̬ki karananing mang̦ tjoematakamrih aniroe Рniroe solahing kawi/ wanten sad ripoe satroe sang jati lana , ja tika katekan̬ng palambange
Artinya :
Sadar hamba jika hamba dihina oleh sang pujangga besar mudah-mudahan hamba bisa diampuni dan hamba ikhlaskan. Oleh karena hamba senang mendengarkan gita/nyanyian sang kawi suci: sangat pintar di dalam mengarang hal itulah yang menyebabkan hamba yang hina ini sangat ingin meniru laksana sang kawi. Ada enam musuh di dalam hati selalu memusuhi orang yang mencari keselamatan. Jika tidak tahu dengan akibatnya bisa menyebabkan kegelapan dan membuat kenerakaan.
Zang III.4
Nahan tèki wilangnia, sadripoe kajatnakena tekapi sang, soedarmika kajatnakena tekapi sang soedarmika/ ndan lwirnièking hala. Sia nidira, baja, tresna, ngoenijoeni sira tatan temang/ dwèsa, genep pwa wilangnia sad ripoe hanèng hati, lanamoesoeh ing mapèt hajoe/ jan tan weroeh ring pamignanèki magawè peteng anemahaken swatapaka
Artinya :
Demikianlah bilangan Sadripu yang dijelaskan oleh beliau Sudarmika yang memiliki kedarman utama dan di waspadai selalu oleh Sudarmika. Namun yang disebut sebagai penyebab bahaya, malas, kebahayaan, keterikatan, dari dulu beliau tidak menjumpai. Ditambah dengan kemarahan lengkap sudah bilangan Sadripu yang ada dalam hati, selalu memusuhi pda yang sedang mencari keselamatan. Jika tidak tahu dengan penangkalnya dapat menyebabkan kegelapan dan menjadikan diri papa.
Adapun keenam musuh yang ada dalam diri manusia ini dimaksud ialah :
2.1.1 Kama ( Nafsu, Keinginan )
Kama yang dimaksud dalam sad ripu ini adalah nafsu atau keinginan yang bersifat negatif. Manusia memang harus memiliki keinginan, tanpa keinginan hidup ini akan terasa datar sekali. Akan tetapi keinginan yang tidak dapat dikendalikanlah yang bisa menjadi musuh bagi diri kita sendiri.
Dalam lontar Kekawin Sad Ripu ini, disebutkan pula Kama atau nafsu yang akan menjadi musuh dalam diri kita, yaitu pada Zang III.6
Nitiambek maharep satjoembana lawan parada, ja ta ragaparja ja ja/ tan lèn dwèsa ngarania, salwiraniking oelah hajoe pinakaliking hati/ jèka rakwamangoen wjaring agama darmika jan atoeta ri samangkana/ tandwèkan oemarèng jamanda kadoenoeng, jamabala manikep mangamboeli.
Artinya :
Pikirannya selalu ingin bercumbu rayu dengan para perawan itulah yang namanya nafsu. Tidak lain dwesa namanya, segala perbuatan yang baik semua menjijikkan hatinya. Hal itulah yang menyebabkan rusaknya agama, dharma jika hal seperti itu dituruti. Tak urung datang kepenjelmaan yang fana ditujunya. Prajurit batara yama yang menangkap dan mengkroyok.
            Jadi itulah nafsu yang akan menimbulkan kehancuran bagi kita menurut Lontar kekawin Sad Ripu, yang harus kita kenali sehingga kita bisa mengendalikan nafsu tersebut.
2.1.2 Lobha ( Tamak, Rakus )
Lobha berarti tamak atau rakus yang sifatnya negatif sehingga merugikan orang lain. Lobha yang sifatnya negatif akan menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan karena merasa tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya tindakan mencuri, merampok dan sebagainya. Lobha yang sifatnya positif hendaknya dipertahankan, seperti tidak puas terhadap ilmu pengetahuan yang positif, lobha terhadap amal / dana punia. Dalam Lontar Kekawin Sad Ripu disebutkan pula lobha yang akan menjadi musuh dalam diri kita yaitu terdapat pada Zang III.5
Singgih pwèkinaran alas jati lemeh-lemeh anoehoeki hana tan besoer/ ambek boeat toeroe tan patangia. Tang anidra pangaranika jan samangkana/ salwirning  magawè prabita ri hati ja tika baja ngarania tan wanèh/ tresna pwèki ngarania, ambekika nitia karaket ika tan kenèng pasah.
Artinya :
Sungguh-sungguh yang disebut hutan jati sesungguhnya, bermalas-malas, selalu menuruti keadaan dan tidak pernah puas. Dan selalu ketiduran dan tak pernah sadar hal itulah yang disebut ketiduran. Segala yang menyebabkan kebingungan di dalam hati itulah yang disebut bahaya. Keterikatan itu namanya, pikirannnya selalu terikat tidak bisa dipisahkan.
            Jadi dalam lontar ini disebutkan kalau kita tidak sadar akan apa yang kita inginkan, dan selalu merasa tidak puas, kita disebut dalam keadaan tertidur, sehingga dibutuhkan kesadaran agar kita mampu membuka mata kita dan mengendalikan musuh yang ada dalam diri kita tersebut.
2.1.3 Krodha ( Kemarahan )
Krodha berarti kemarahan. Orang yang tidak bisa mengendalikan amarahnya akan menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun orang lain. Pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki amarah, namun bila amarah yang meledak-ledak dan kita tidak dapat mengendalikannya, itulah yang akan menjadi musuh dalam diri kita, seperti halnya yang disebutkan dalam lontar Kekawin Sad Ripu ini yang terdapat pada Zang VII .1
Lèn tèkang hana djantawa wiwada lèn wang nitiasanggeng poerik/ Krodambeknika nitia tan toeta moewah ring wang gawe niatoekar/ ndan tan wroeh mangiket kasatwan i manahnia kroda lagieniwe/ Jogjèka wroehaneka nitia ja mahakrodinaran tar waneh.

Artinya :
Lain lagi adajantawawiwada lain lagi orang yang selalu berbuat tidak baik . kemarahan selalu pada pikirannya dan selalu tidak diikuti lagi oleh orang yang diajak bertengkar. Dan tidak tahu berbuat kesucian pada pikirannya. Kemarahan selalu dibuatnya. Patut hal itu di pahami. Itulah disebut  orang yang mempunyai kemarahan besar tiada lain.
            Itulah Krodha yang disebutkan dalam Lontar Kekawin Sad Ripu ini, bila kita tidak mampu mengendalikannya jelaslah kita akan menemui suatu kehancuran.
2.1.4 Moha  ( Kebingungan )
Moha berarti kebingungan yang dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga seseorang tidak dapat berfikir secara jernih. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Akibatnya hal – hal yang menyimpang akan dilakukannya. Banyak penyebab seseorang menjadi bingung, seperti marah, mendapatkan masalah yang berat, kehilangan sesuatu yang dicintai dan sebagainya. Dalam Lontar ini Kebingungan disebutkan pada Zang VI. 5.
Hana djanma nitia  tan anoenggal angen-angenikati garwita/ ateher masoek-wetoe tang ambek ika tan anoeteng na jottama/ ngoeniwèh sawang goeloenikang pasir watjananika nda tan lana/ ja tjamoendi namanika tan toetena tekapi sang wroehèng naja.
Artinya :
Ada orang yang selalu tidak tunggal angan-angannya sangat luas. Dan juga keluar masuk nafasnya itu tidak menurut cara yang utama. Apalagi semua orang dikatakan sebagai pasir tidak langgeng. Yaitu namanya adalah camondi. Tidak perlu ditiru oleh orang yang sudah pintar.
            Orang yang seperti apa yang disebutkan diatas, pikirannya selalu bercabang, tidak pernah tetap pendirian, itulah yang disebut dengan bingung. Kebingungan inilah yang akan menyebabkan timbulnya suatu kebodohan.
2.1.5 Mada ( Mabuk)
Mada berarti mabuk. Orang mabuk pikiran tidak berfungsi secara baik. Akibatnya timbulah sifat – sifat angkuh, sombong, takabur dan mengucapkan kata – kata yang menyakitkan hati orang lain. Seperti mabuk kekayaan yang dimilikinya, mabuk karena ketampanan. Dalam lontar Kekawin Sad Ripu disebutkan pula bagaimana orang itu mabuk dalam Zang VII.2.
Wang garwita manahnia nitia amangoen tan swastaning rat kabeh/ Andestianeloeh angratjoen samanikang djantwenoepa jenoelah/ Tan ngosen makire ngoelah koe winangoen tar hjoen samatrèng hajoe/ Dewi doerga ngarania kawakanikang djantwange oelah mangkana.
Artinya :
Orang yang selalu mempunyai kesombongan didalam hatinya selalu membuat ketidak tenangan kepada semua orang. Anesti ,Aneluh, Meracun. Sama dengan orang yang selalu membuat kerusuhan. Tidak memikirkan keselamatan orang lain, hanya dirinya sendiri, dewi durgalah namanya perwujudan orang yang berulah seperti itu.
Jadi mabuk merupakan keadaan dimana kita selalu merasa bahwa diri kitalah yang benar, sehingga seringkali kita bersifat sombong, dan selalu memikirkan diri kita sendiri.
2.1.6 Matsarya ( Dengki, Iri Hati )
Matsarya berarti dengki atau iri hati. Hal ini akan menyiksa diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Orang yang matsarya merasa hidupnya susah, miskin, bernasib sial, sehingga akan menyiksa batinnya sendiri. Selain itu bila iri terhadap kepunyaan orang lain maka akan menimbulkan rasa ingin memusuhi, berniat jahat, melawan dan bertengkar, sehingga merugikan orang lain. Orang yang selalu bersifat dengki ini disebutkan dalam lontar Kekawin Sad Ripu pada Zang VII.3.
Wang lagiati miramoedji goenani sang dosadnja Sang Pandita/ Denianabda taman panohara woewoesniasing pinoedjienalem/ jeki wang toehoe jan wisesa paramanindiatma noeng ring djagat/ jan mangka lingikamoedji para-param jokinaran tatsini.
Artinya :
Orang yang selalu tidak memuji keutamaan dan selalu menghina pandita. Tatkala dia berbicara tidak ada yang menarik hati. Semua perkataannya yang disanjung-sanjung. Inilah orang yang sungguh-sungguh utama dan berjiwa luhur keadaannya dibumi ini. Jika demikian ucapan orang yang memujinya, orang kebanyakan menyebut  tat sini.
Sifat dengki inilah yang akan menimbulkan kehancuran bagi kita, sebaiknya kita harus mengendalikan sifat ini sehingga kita akan memperoleh suatu kedamaian dalam hidup.
2.2 Cara Mengatasi Keenam Musuh
            Dalam lontar Kekawin Sad Ripu ini juga disebutkan bagaimana kita mengatasi keenam musuh yang ada dalam diri kita ini yaitu terdapat pada Zang IV.1.
Tekwan panimbata ri sadripoe kawroeh ing twas/ nirbita lagi pangilang baja ring dalem twas/ djagra lan tika panirnakenèng anidra/ nitiotsaha pwa wangoenen pameding alasja.
Artinya :
Dan lagi yang digunakan untuk memusnahkan keenam musuh itu adalah pengetahuan didalam pikiran. Tidak takut untuk menghilangkan bahaya didalam hati. Kesadaran itulah yang di gunakan memusnahkan tidur yang lelap selalu membangkitkan usaha keselamatan.
            Jadi sesungguhnya kita hidup didunia ini bila kita tidak manyadari keenam musuh ini kita disebut tidur, yang artinya kita masih belum mengenali keenam musuh yang sangat berbahaya ini. Inilah perlunya kita menyadari keenam musuh ini, yang dalam lontar ini disebutkan dengan jalan mengendalikan dan memperbanyak pengetahuan dalam pikiran, karena di dalam dirikita pikiranlah yang menjadi pengendali segalanya, ketika kita sudah mampu mengendalikan pikiran kita kea rah yang benar yang sesuai dengan dharma, maka kita akan mampu mengenali musuh kita dan mengendalikannya.













BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Dalam lontar sad ripu menceritakan tentang kekaguman seorang pengarang terhadap kemahakuasaan ida sang hyang widhi wasa dalam wujud siva natha raja, yang sanggup mengendalikan seluruh alam. Beliau merupakan inti sari dari pikiran dan merupakan cikal bakal dari kesadaran. Beliau mampu mengadakan baik buruk, beliau selalu dicari-cari namun tak dapat difikirkan, dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Mengendalikan sifat-sifat dari Sad Ripu adalah hal mutlak yang patut kita lakukan. Banyaklah kita diberikan pencerahan baik dari orang tua, guru, penglingsir, lingkungan yang baik, serta pula dari guru kerohanian agar terhindar dari sad ripu ini. Dan secara simbolis bahwa ada upacara metatah atau potong gigi yang dapat pula sebagai upacara yang berkaitan dengan pengurangan sad ripu tersebut.
3.2  Saran
dalam hal ini penulis menyarankan agar kita sebagai umat manusia menyadari terlebih dahulu apa saja musuh-musuh yang ada dalam diri kita, sehingga kita mampu mengendalikannya dan mampu berjalan sesuai ajaran Dharma

MAKNA BIMBINGAN YANG TERKANDUNG DALAM LAGU “EDE NGADEN AWAK BISA” DAN “ BUNGAN SANDAT”



 MAKNA BIMBINGAN YANG TERKANDUNG DALAM LAGU “EDE NGADEN AWAK BISA” DAN “ BUNGAN SANDAT”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kidung atau nyanyian-nyanyian Bali merupakan suatu kebudayaan yang memiliki nilai seni dan mengandung nilai moral yang tinggi. Di Bali Kidung ini debedakan bedasarkan tingkatan-tingkatan tertentu, di mulai dari sekar rare yang kidungnya masih sangat sederhana, yang kedua sekar alit, yang ketiga sekar madya dan yang terakhir disebut sekar agung.
Didalam kidung-kidung tersebut mengandung pesan-pesan moral, tata bertingkah laku dan tidak sedikit dari kidung-kidung Bali mengandung suatu Bingbingan. Dalam makalah ini akan khusus membahas tentang makna Bingbingan yang terkandung dalam pupuh Ginada yang berjudu “Ede Ngaden Awak Bisa” dan lagu Bali yang Berjudul “ Bungan Sandat”. Dimana kedua lagu ini mengandung unsur Bingbingan yang sangat baik dalam bertingkah laku.
Seperti lagu Ede Ngaden Awak bisa, ini mengajarkan kita untuk belajar terus-menerus karena ilmu pengetahuan itu selalu berkembang, dan lagu  Bungan Sandat, ini mengajarkan kaum wanita agar mampu menjaga dirinya dengan baik.

1.2  Rumusan masalah
1)      Bagaimanakah unsur Bingbingan yang terkandung pada pupuh Ginada yang berjudul Ede Ngaden Awak Bisa ?
2)      Bagaimanakah unsur Bingbingan yang terkandung pada lagu  Bungan Sandat ?

1.3  Manfaat Penulisan
1)      Untuk mengetahui unsur Bingbingan yang terkandung dalam pupuh Ginada yang berjudul Ede Ngaden Awak Bisa.
2)      Untuk mengetahui unsur Bingbingan yang terkandung pada lagu  Bungan Sandat.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna pupuh Ginada “ede ngaden awak bisa”
Ungkapan “ede ngaden awak bisa” ini sering kita dengar, Kalimat ini adalah bait pertama dari lagu berbahasa Bali, termasuk pupuh ginada untuk sekar alit, pengantar tidur anak-anak. Artinya begini “jangan mengira diri sudah pintar.” Selanjutnya bait kedua, “De ngaden awak bisa, depang anake ngadanin,” yang berarti “jangan mengira diri sudah pintar, biarlah orang lain yang menilai.” Kalau diartikan lebih luas, makna yang terdapat di bait-bait tersebut – bahwa kita tidak boleh arogan/sombong ketika tahu sesuatu. Ungkapan ini sering digunakan oleh masyarakat Bali khususnya, sebagai acuan mereka dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari.
Nilai yang terkandung sebenarnya memiliki pesan yang sangat baik. Selain agar tidak sombong/takabur, kita diharapkan lebih reflektif dan mawas diri. Namun, jika hanya dimaknai sebagian saja, nilai dalam dua bait tersebut, tidak bisa berlaku di semua situasi dan bisa berpengaruh kurang baik. Di pembelajaran di kelas, misalnya, siswa bisa saja menjadi pasif, tidak mau menonjolkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam aktivitas belajar. Mereka tidak mau dikatakan sombong dan sejenisnya. Demikian juga di konteks pekerjaan. Kata-kata seperti “kapan majunya (orang Bali) kalau selalu mengaku tidak bisa,” atau “ini sebabnya kita selalu kalah dibanding yang lain, karena tidak pernah mau menonjolkan kemampuan yang dimiliki, meski bisa diandalkan.” Sekali lagi, kita tidak bisa melihatnya secara sepotong-sepotong. Lagu ini harus dimaknai secara utuh dari seluruh bait yang ada. Bait lengkapnya adalah sebagai berikut:

Ede ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu buka katah
Yadin ririh liu nu peplajahan

Maknanya :
Jangan mengira dirimu sudah pintar
Biarlah orang lain yang menilai diri kita/menyebutnya demikian
Ibarat kita menyapu
Sampah akan ada terus menerus
Kalaupun sudah habis, masih banyak debu
Biarpun kamu sudah pintar, masih banyak hal (yang harus dipelajari)




Pada dasarnya lagu ini begitu polos, lugu apa adanya, namun penuh makna. Oleh dongeng budaya, lagu ini diterjemahkan sebagai berikut :

1.         Jangan sombong, mengatakan diri pintar, diri baik, serba tahu dan seterusnya, juga hindari memuji diri sendiri. Orang lainlah yang menilai dan mengatakan bukan diri anda. Dalam hal agama juga sama saja, mengatakan agama sendiri paling bagus, damai dan seterusnya adalah konyol.
2.         Belajar ataupun tindakan baik apapun yang kita lakukan harus kontinyu dan terus menerus. Ibarat orang menyapu, tidak cukup hanya dilakukan sekali saja.
3.         Tidak ada manusia yang sempurna. Seseorang mungkin pintar dalam ilmu tertentu tapi bisa jadi bodoh dalam ilmu lain. Jadi walau sudah pintar, masih tetap perlu belajar.

Memang sangat baik konsep berpikir dan bertindak orang Bali secara umum. Sifat perilaku agar tidak suka menonjolkan kelebihan, dan menjadi sombong sebenarnya berimplikasi pada keyakinan apapun yang dimiliki dan diketahui manusia sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan keagungan Tuhan. ini banyak didasari oleh rasa bakti transendental kepada sang pencipta.
Membiarkan orang lain yang menilai kita, karena kita sulit untuk menilai kelebihan dan kekurangan diri sendiri, namun bukan berarti kita akan menjadi rendah diri, karena jika kita sudah berilmu tanpa kita memberitahu orang pasti sudah mengetahuinya melalui tingkah laku kita. Jika kita berilmu orang-orang pasti akan membutuhkan kita.
Belajar ilmu pengetahuan itu diibaratkan seperti menyapu, jika kita sudah mampu mengatasi satu masalah, akan timbul masalah yang lain seiring berkembangnya ilmu pengetahuan kita, masalah itu merupakan suatu proses pendewasaan diri, semakin sering kita menghadapi masalah maka kita akan mampu berpikir lebih bijaksana.
Ini bukan berarti terlalu mendasarkan diri pada satu keyakinan saja. Hanya tertarik betapa hebatnya para orang tua dulu yang mampu mengkomposisi lagu ini. Hal penting yang bisa diambil dari lagu ini adalah “jangan sombong (ketika tahu akan sesuatu); rendah hati, tapi bukan rendah diri; dan selalu belajar (karena akan selalu ada hal baru – diatas langit masih ada langit).” Inti utamanya adalah pada “yadin ririh liu nu peplajahan – masih banyak yang harus dipelajari.” Karena ilmu pengetahuan itu selalu berkembang, lagu ini juga mengajarkan kita agar tidak terlalu fanatisme terhadap ilmu pengetahuan, kita harus terbuka terhadap ilmu-ilmu yang baru. Seperti sekarang, di era Globalisasi ini ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat, jika kita tidak mampu mengimbangi perkembangan zaman, kita akan terpuruk dan tidak bias berkembang, oleh karena itu kita harus belajar terus-menerus dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Sekali lagi penting ditekankan, kita harus bisa menampilkan sisi terbaik kita di konteks yang relevan, namun kita harus tetap rendah hati dan tidak berhenti belajar
Karenanya, sangat cocok dipakai pengantar tidur anak-anak kita agar nilai baiknya bisa tertanam sejak dini. Karena bingbingan yang paling penting dan pertama dilakukan oleh orang tua dirumah.



2.2 Makna Lagu bungan sandat
            Lagu  Bungan Sandat ini merupakan sebuah lagu yang membingbing remaja wanita agar mampu menjaga dirinya, masa remaja ini merupakan masa-masa yang rentan terjerumus ke arah yang negatif. Karena masa remaja ini cenderung ingin bebas dan cenderun tidak mau dikekang, sehingga diperlukan memahami dan mengimplementasikan lagu  Bungan Sandat ini. Lagu ini sangat baik untuk membingbing remaja khususnya remaja wanita untuk menjaga diri. Jika seorang Remaja tidak mampu menjaga dirinya, maka di ibaratkan sebagai bunga kembang sepatu atau dalam bahasa bali disebut bunga “pucuk”. Bunga ini sangat indah namun ketika dipetik akan cepat layu dan tidak bisa digunakan lagi, sehingga pada akhirnya akan dibuang.
            Namun bila mampu menjaga dirinya dengan baik, mampu menjaga nilai sebagai wanita maka ia diibaratkan sebagai bunga “sandat” yaitu bunga yang sangat wangi biarpun sudah layu bahkan kering bunga sandat tetap wangi dan masih berguna.
Lagu ini harus kita pahami semua baitnya agar kita mampu mengambil pesan-pesan yang terkandung dari lagu ini dan mampu mengamalkannya. Adapun bait lengkap dari lagu I Bungan Sandat, sebagai berikut :

Bungan Sandat

Yen gumanti bajang tan binaye pucuk nedeng kembang
disuba ye layu tan ade ngerunguang ngemasin makutang
becik malaksana de gumanti dadi kembang bintang
mantik di rurunge makejang mangempok raris ka entungang
refff :
To ibungan sandat selayu-layune miik
too.. ye nyandang tulad seuripe melak sana becik
pare truna truni mangde saling asah asih asuh
ma nyama beraya to kukuhin rahayu kapanggih
Maknanya :
Dari bait yang pertama yaitu “Yen gumanti bajang tan binaye pucuk nedeng kembang” yang maknanya di kala seorang wanita itu sudah menginjak masa remaja maka ia di ibaratkan sebagai bunga kembang spatu ayau “pucuk” yang sangat indah, artinya wanita sudah mampu untuk menghias diri sehingga mampu tampil cantik. Sehingga mampu menarik orang-orang yang melihatnya
Dari bait kedua yaitu “disuba ye layu tan ade ngerunguang ngemasin makutang” artinya ketika seorang wanita itu sudah mengalami salah pergaulan atau terjerumus, jika di ibaratkan bunga kembang sepatu yang sudah layu maka akan dibuang dan tidak dipakai lagi, karena kecantikannya sudah hilang ternodai oleh sifat yang tidak baik.
Dari bait selanjutnya yaitu  “becik malaksana de gumanti dadi kembang bintang” dan “mantik di rurunge makejang mangempok raris ka entungang”
Artinya ketika ia mampu bersikap yang baik dia akan menjadi primadona, namun tumbuh dan berkembang pada tempat yang salah dalam hal ini diibaratkan bunga yang indah  tumbuh di jalan maka semua orang tertarik untuk memetiknya dan setelah dipetik akan dibuang kembali karena sudah layu dan tidak ada gunanya lagi. Begitu pula wanita yang tumbuh dan berkembang dalam pergaulan bebas, ini cenderung akan menjadikan wanita untuk ganti-ganti pasangan, dan ketika dia sudah di cap tidak baik dalam masyarakat maka dia akan dibuang.
            Bait selanjtnya yaitu “To ibungan sandat selayu-layune miik” artinya seseorang khususnya wanita harus mampu menerapkan ilmu filsafat pada bunga kenanga atau “sandat” dimana walaupun bunga tersebut sudah layu, dia tetap harum. Ini artinya jika seorang wanita mampu menjaga dirinya dengan baik dia akan tetap memiliki nilai atau kehormatan walaupun sudah tua, sehingga disebut cantik lahir dan batin.
            Bait selanjutnya yaitu “too.. ye nyandang tulad seuripe melak sana becik” artinya kita harus mampu menjadikan filsafat Bungan sandat ini sebagai tauladan dalam hidup, sehingga kaum remaja khususnya wanita mampu menjaga dirinya dengan baik dan menjaga martabat diri sendiri sehingga mampu dihormati sebagai wanita.
            Dan yang terakhir yaitu “pare truna truni mangde saling asah asih asuh” dan “ma nyama beraya to kukuhin rahayu kapanggih”, artinya disini bukan hanya diperlukan kaum wanita saja yang harus menjaga diri, namun kaum laki-laki juga harus mempu menghormati kaum wanita. Jadi antara kaum pemuda dan pemudi itu harus mampu saling asah, asih dan asuh atau saling mengasihi dan bersama-sama untuk menciptakan suatu kedamaian.
            Jadi intinya lagu ini membingbing kaum wanita untuk mampu menjaga diri dan kehormatan sebagai wanita, agar mampu tumbuh seperti bunga kenanga atau “sandat yaitu mampu tetap dihormati biarpun sudah tua sekalipun.
Kita sebagai penerus bangsa harus bisa mencontoh bunga kenanga yang dari baru mekar hingga dia layu tetap memiliki prilaku yang baik dan harum selalu dikenang oleh orang lain. Jangan kita tumbuh bagai bunga yang tidak terpelihara dijalan, dipetik dan kemudian dibuang. Khususnya bagi para wanita jangan sampai apa yang kita jaga sebagai kehormatan dipetik begitu saja yang kemudian dibuang.
Nasihat lagu ini untuk kita, jangan biarkan masa muda hanya indah sesaat lalu untuk disia-siakan. Seburuk apapun masa lalu kita, Tuhan Maha Pengampun dan Penyayang. Maha Pengampun karena yang IA pandang tidak hanya apa yang sudah kita lakukan, tapi juga apa yang kita tekadkan dan usaha kita untuk memperbaiki diri. Maha Penyayang karena seburuk apapun ujian yang pernah IA berikan, semuanya untuk melatih kita untuk menjadi makhluk-NYA yang pantas IA Cintai. karena, mungkin Tuhan juga cemburu, bila kita mencintai yang lain lebih dari cinta kita padaNYA.
Semoga Tuhan selalu membimbing kita untuk terus memperbaiki diri dan hidup yang berarti laiaknya Bungan Sandat. Semoga kita mampu mengamalkan dan mengimplementasikan lagu ini dalam kehidupan sehai-hari. Perlu mengokohkan tali persaudaraan antar sesama sehingga mampu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup.



































BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Makna dari pupuh Ginada yang berjudul “ede ngaden awak bisa” ini membingbing kita agar bertindak tidak sombong dan puas diri walaupun sudah memiliki suatu ilmu, dan kita diajarkan untuk belajar terus menerus karena ilmu pengetahuan it terus berkembang.
            Makna lagu I Bungan sandat ini membingbing seseorang khususnya wanita mampu menjaga diri dan kehormatannya sebagai wanita, sehingga mampu terus memiliki nilai dan kehormatan sampai tua sekalipun.

3.1 Saran
            Diharapkan kita mampu memahami dan mengimplementasikan makna-makna dari lagu-lagu bali tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat memperoleh suatu kesejahteraan.


























DAFTAR PUSTAKA

Buku kidung Taman sari

http://clingakclinguk.com/2008/11/13/bungan-sandat/

http://wikipedia.com/